Oleh: Nadya Karimasari
Menjelang 2013, FAO mengingatkan tentang kemungkinan terjadinya krisis pangan. Cadangan pangan dunia berada pada titik yang terendah selama 74 tahun terakhir. Harga pangan melonjak pada titik tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tingkat kelaparan semakin tinggi seiring dengan meroketnya harga pangan. Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan untuk, salah satunya, melenyapkan kelaparan pada tahun 2015, ternyata hanya menjadi sebuah cita-cita mulia yang kosong. Bagi kaum miskin di tanah air, mereka terbatasi dalam mencukupi asupan kalori yang diperlukan untuk hidup seimbang, terutama karena keterbatasan daya beli. Demi bertahan hidup, kaum miskin mengalokasikan 40-90% penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Dengan proporsi pengeluaran seperti itu, kaum miskin adalah pihak yang paling terpukul oleh krisis serta kenaikan harga pangan.
Penyebab krisis pangan
Dalam berbagai perdebatan, setidaknya dapat disarikan empat faktor penyebab krisis pangan. Keempat faktor tersebut adalah perubahan iklim, berkurangnya lahan pertanian, alih fungsi komoditi pangan menjadi bahan bakar nabati (biofuel), serta spekulasi harga pangan.
Perubahan iklim disinyalir menjadi faktor utama yang menyebabkan bencana kekeringan dan gagal panen, terutama untuk bahan makanan pokok seperti jagung, kedelai, dan gandum di Amerika Serikat (AS), Ukraina, dan Rusia. Bencana kekeringan di AS adalah yang terparah dalam 50 tahun terakhir. Kekeringan di lumbung-lumbung pangan dunia telak mempengaruh harga pangan dunia. Gagal panen juga memicu Ukraina untuk membatasi ekspor pangan demi kebutuhan dalam negeri. Ancaman krisis pangan 2013 akan semakin menguat jika panen di wilayah Asia serta belahan bumi bagian selatan juga mengalami kegagalan.
Penyebab kedua adalah berkurangnya lahan pertanian. Kegiatan pertanian yang tidak menguntungkan petani membuat sektor ini cenderung ditinggalkan. Sektor pertanian dianggap tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan uang tunai sehari-hari. Dalam konteks Indonesia, maraknya pembangunan food estate yang maha luas tidak otomatis menjawab ancaman krisis pangan. Sebab, penguasaan lahan tidak berada di tangan petani kecil dan penggarap yang rawan krisis pangan, namun justru di tangan pemilik food estate. Pemilik food estate dapat memutuskan untuk mengekspor hasil panen, mengubahnya menjadi bahan bakar nabati, ataupun menjual dengan harga yang tidak terjangkau oleh kaum miskin tanah air.
Penyebab ketiga adalah alih fungsi komoditi pangan menjadi bahan bakar nabati. Uni Eropa (UE), Inggris dan AS memandatkan sektor transportasi mereka untuk menggunakan bahan bakar nabati. Negara anggota UE harus memenuhi target 10% sumber energi transportasi mereka berasal dari bahan bakar nabati pada 2020. Inggris menargetkan sebanyak 5% bahan bakar transportasi berasal dari energi nabati. Sedangkan AS mensyaratkan penggunaan 36 milyar galon bahan bakar nabati untuk mobil dan truk pada 2022. Mandat-mandat tersebut membuka pasar baru bagi penjualan bahan bakar nabati yang berasal dari tanaman pangan. Hal ini mendongkrak harga beberapa komoditi pertanian di pasar.
Penyebab terakhir adalah spekulasi harga komoditi pertanian yang juga berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga pangan. Dalam lima tahun terakhir, aksi spekulasi harga komoditi pertanian meningkat hampir dua kali lipat, membuat harga pangan semakin fluktuatif. Pada 2010-2011, Barclays diperkirakan mendapat laba sebesar 800 juta dolar dari spekulasi harga pangan. Aksi spekulasi tersebut membuat harga bahan makanan pokok dunia seperti gandum, beras, dan jagung, menjulang. Akibat ulah yang memicu krisis pangan tersebut, bank asal Inggris itu mendapatkan Public Eye Award 2012 sebagai perusahaan terburuk di dunia. Pada tahun 2013, Public Eye Jury Award dianugerahkan kepada Goldman Sachs, perusahaan terburuk di dunia yang mengantungi keuntungan sebesar 400 juta dolar dari aksi spekulasi harga pangan di tahun 2012.
Salah kaprah krisis pangan
Dari keempat penyebab krisis pangan di atas, penyebab pertama hingga ketiga mengasumsikan bahwa krisis pangan identik dengan kurangnya produksi pangan. Sehingga, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi krisis pangan berlandaskan pada asumsi bahwa produksi pangan harus ditingkatkan.
Contoh solusi yang ditawarkan berdasarkan asumsi tersebut antara lain: mengurangi risiko gagal panen melalui upaya memperlambat laju perubahan iklim, menambah luas lahan (ekstensifikasi) dan produktivitas (intensifikasi) pertanian demi tercapainya produksi pangan yang memadai. Juga, menghentikan pemanfaatan komoditas pertanian untuk bahan bakar nabati selama kebutuhan pangan belum tercukupi secara sempurna.
Ketiga solusi tersebut perlu diupayakan, namun belum cukup untuk mengatasi krisis pangan, selama tidak ada kebijakan yang tegas untuk menindak aksi spekulasi harga komoditi pertanian. Sebab, bertentangan dengan asumsi yang menyatakan bahwa krisis pangan terjadi karena kekurangan produksi pangan, laporan FAO 2012 menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga produksi pangan dunia terbuang. Di negara maju, pangan terbuang di tangan peritel dan konsumen. Di negara berkembang, pangan terbuang karena bahan kimiawi yang merusak hasil pertanian, keterbatasan fasilitas penyimpanan pangan dan penyerapan pasar, sehingga bahan pangan yang tidak laku membusuk. Hal ini memberikan indikasi yang jelas bahwa krisis pangan bukan berarti ketidaktersediaan pangan, melainkan semakin tidak terjangkaunya harga pangan.
Penyebab utama krisis pangan bukanlah kurangnya produksi pangan, melainkan berlangsungnya spekulasi komoditi pertanian yang melonjakkan harga pangan. Untuk mengantisipasi krisis pangan, diperlukan kedaulatan pangan. Artinya, kekuasaan untuk mengambil keputusan mengenai kebijakan pangan harus dikembalikan pada mereka yang paling rawan terkena krisis pangan, bukan pada tangan mereka yang hanya berkepentingan untuk menumpuk laba. Selama spekulasi pangan masih leluasa terjadi, krisis pangan masih mengancam. Yang mengambil keuntungan hanya segelintir orang, dengan perut kaum miskin sebagai tumbalnya.
Referensi:
UN warns of looming worldwide food crisis in 2013, http://www.guardian.co.uk/global-development/2012/oct/14/un-global-food-crisis-warning
Don’t Ignore the Drought, http://www.rollingstone.com/politics/news/dont-ignore-the-drought-20130117
Goldman Sachs made up to £250 million betting on food prices in 2012, http://www.wdm.org.uk/food-and-hunger/goldman-sachs-made-£251-million-betting-food-prices-2012